REKONTRUKSI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)DI SEKOLAHDosen Pengampu;DR. H. WIDYO NUGROHO, MM.Oleh :FATCHURODJI (NIM: 5051030008)
Hingga saat ini pelaksanaan PAI yang berlangsung di sekolah masih dianggap kurang berhasil (untuk tidak mengatakan “gagal”) dalam menggarap sikap dan perilaku keberagamaan peserta didik serta membangun moral dan etika bangsa.
Bermacam-macam argumen yang dikemukakan untuk memperkuat statemen tersebut, antara lain adanya indikator-indikator kelemahan yang melekat pada pelaksanaan pendidikan agama di sekolah, yang dapat diidentifikasi sebagai berikut:
(1) PAI kurang bisa mengubah pengetahuan agama yang kognitif menjadi ”makna” dan ”nilai” atau kurang mendorong penjiwaan terhadap nilai-nilai keagamaan yang perlu diinternalissasikan dalam diri peserta didik. Dengan kata lain, pendidikan agama selama ini lebih menekankan pada aspek knowing dan doing dan belum banyak mengarah ke aspek being, yakni bagaimana peserta didik menjalani hidup sesuai dengan ajaran dan nilai-nilai agama yang diketahui (knowing), padahal inti pendidikan agama berada di aspek ini;
(2) PAI kurang dapat berjalan bersama dan bekerjasama dengan program-program pendidikan non-agama;
(3) PAI kurang mempunyai relevansi terhadap perubahan sosial yang terjadi di masyarakat atau kurang illustrasi konteks sosial budaya, dan/atau bersifat statis akontekstual dan lepas dari sejarah, sehingga peserta didik kurang menghayati nilai-nilai agama sebagai nilai yang hidup dalam keseharian.
Persoalan tersebut sebenarnya sudah bersifat klasik, namun hingga kini belum terselesaikan dengan baik, sehingga menjadi persoalan yang berkesinambungan dari satu periode ke periode berikutnya.
Berbagai persoalan internal pendidikan agama Islam hingga kini belum terpecahkan secara memadai, tetapi di sisi lain juga sedang berhadapan dengan faktor-faktor eksternal yang antara lain berupa menguatnya pengaruh budaya materialisme, konsumerisme dan hedonisme, yang menyebabkan terjadinya perubahan life-style (gaya hidup) masyarakat dan peserta didik pada umumnya.
Memperhatikan tantangan PAI tersebut, agaknya hijrah yang diperlukan adalah lebih banyak menyangkut rekonstruksi aspek metodologi pembelajaran dari yang bersifat dogmatis-doktriner dan tradisional menuju kepada pembelajaran yang lebih dinamis-aktual dan kontekstual.
Mungkin di benak kita muncul pertanyaan yang menggoda: apakah pembelajaran PAI dengan pendekatan kontekstual tidak akan mengakibatkan perubahan ajaran dan nilai-nilai dasar agama itu sendiri karena dihadapkan dengan tantangan zaman yang selalu berubah? Jika demikian, di mana letak prinsip-prinsip dasar keyakinan beragama?
Pendekatan kontekstual dalam pembelajaran PAI termasuk dalam wilayah epistemologis, yang titik tekannya terletak pada bagaimana proses, prosedur, dan metodologi yang digunakan untuk memperoleh pengetahuan agama Islam, menghayati dan mengamalkannya.
Menurut Dirkx, Amey, and Haston (1999) bahwa pembelajaran dengan pendekatan kontekstual bersumber dari pendekatan konstruktivis.
Menurut teori belajar constructivist, bahwa individu belajar dengan cara mengkonstruksi makna melalui interaksi dan menginterpretasi terhadap lingkungannya. Selanjutnya mereka menyatakan bahwa: “The meaning of what individuals learn is coupled with their life experiences and contexts; it is constructed by the learners, not by the teachers; and learning is anchored in the context of real-life situations and problems“. ("Makna apa yang individu belajar yang digabungkan dengan pengalaman hidup mereka dan konteks, melainkan dibangun oleh pembelajar, bukan oleh guru, dan belajar adalah berlabuh dalam konteks situasi kehidupan nyata dan masalah").
Adapun karakteristik dari pembelajaran kontekstual, sebagaimana dikemukakan oleh Clifford & Wilson (2000) adalah sebagai berikut:
(1) Emphasizes problem solving;
(2) Recognizes that teaching and learning need to occur in multiple contexts;
(3) Assists students in learning how to monitor their learning so that they can become self-regulated learners;
(4) Anchors teaching in the diverse life context of students;
(5) Encourages students to learn from each other;
(6) Employs authentic assessment.
(1)Menekankan pemecahan masalah;
(2) Mengakui bahwa pengajaran dan pembelajaran perlu terjadi dalam beberapa konteks;
(3) Membantu siswa dalam belajar bagaimana memonitor belajar mereka sehingga mereka dapat menjadi pelajar yang diatur sendiri;
(4) Jangkar mengajar dalam konteks kehidupan yang beragam siswa;
(5) Mendorong siswa untuk belajar dari satu sama lain;
(6) menggunakan penilaian otentik.
PAI di sekolah terdiri atas beberapa aspek, yaitu:
- al-Qur’an dan al-hadits,
- keimanan/aqidah,
- akhlak,
- fiqh (hukum Islam), dan
- aspek tarikh (sejarah) dan kebudayaan Islam.
Kelima aspek PAI ini dapat dididikkan kepada peserta didik melalui pembelajaran yang menggunakan pendekatan kontekstual, yang intinya selalu mengaitkan pembelajaran PAI dengan konteks dan pengalaman-pengalaman hidup peserta didik yang beraneka ragam dan/atau konteks masalah-masalah serta situasi-situasi riil kehidupannya.
Melalui interaksi dengan lingkungan dan menginterpretasi terhadap pengetahuan dan pengalaman hidupnya tersebut, maka peserta didik dapat mengkonstruksi makna dan nilai-nilai Islam yang perlu diinternalisasikan dalam dirinya.
Dengan demikian, pembelajaran PAI berdasarkan pendekatan kontekstual mengasumsikan bahwa laboratorium pendidikan agama Islam adalah kehidupan itu sendiri atau peristiwa-peristiwa hidup dan kehidupan yang berada di alam semesta ini, baik yang terkait dengan masalah-masalah keluarga, sosial, ekonomi, politik, budaya, ipteks maupun lingkungan alam dan sebagainya.
PAI di sekolah pada dasarnya lebih diorientasikan pada tataran moral action, yakni agar peserta didik tidak hanya berhenti pada tataran kompeten (competence), tetapi sampai memiliki kemauan (will), dan kebiasaan (habit) dalam mewujudkan ajaran dan nilai-nilai agama tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut Lickona (1991), bahwa untuk mendidik moral anak sampai pada tataran moral action diperlukan 3 (tiga) proses pembinaan yang secara berkelanjutan mulai dari proses moral knowing, moral feeling hingga moral action.
Ketiga-tiganya ini dikembangkan secara terpadu dan berkelanjutan, yaitu
pertama: Moral Knowing, yang meliputi:
(1) moral awareness; (kesadaran moral)
(2) knowing moral values ( mengetahui nilai-nilai moral)
(3) perspective-taking; (perspektif-taking)
(4) moral reasoning;(penalaran moral)
(5) decision making; (pengambilan keputusan)
(6) self-knowledge. (pengetahuan diri.)
Kedua: Moral Feeling, yang meliputi:
(1) conscience ( hati nurani)
(2) self-esteem (harga diri)
(3) empathy (empati)
(4) loving the good (cinta kebaikan)
(5) self-control (pengendalian diri)
(6) humality (rendah hati).
Ketiga: Moral Action, yang mencakup:
(1) competence;
(2) will;
(3) habit.
Melalui pendekatan pembelajaran PAI berbasis kontekstual dan proses pembinaan secara berkelanjutan mulai dari proses moral knowing, moral feeling hingga moral action tersebut, diharapkan berbagai potensi peserta didik dapat berkembang secara optimal, baik pada aspek kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan sosial, serta kecerdasan spiritual maupun kecerdasan kinestetiknya.
Kecerdasan intelektual menyangkut cerdas, pintar, kemampuan membedakan yang baik dan buruk, benar dan salah, serta kemampuan menentukan prioritas atau mana yang lebih bermanfaat.
Kecerdasan emosional menyangkut kemampuan mengendalikan emosi, mengerti perasaan orang lain, senang bekerjasama, menunda kepuasan sesaat, dan berkepribadian stabil.
Kecerdasan sosial menyangkut senang berkomunikasi, senang menolong, senang berteman, gemar berbuat sehingga orang lain senang, dan senang bekerjasama.
Kecerdasan spiritual menyangkut kemampuan merasa selalu diawasi oleh Allah (iman), gemar berbuat lillahi ta’ala, disiplin beribadah mahdlah, sabar berikhtiar serta pandai bersyukur dan berterima kasih.
Kecerdasan kinestetik menyangkut kepedulian terhadap kesehatan jasmani, yakni sehat secara medis, tahan cuaca, tahan bekerjasama dan tumbuh dari rizki yang halal. Tampilnya sosok SDM yang memiliki dan mengembangkan berbagai kecerdasan itulah yang diharapkan siap menghadapi tantangan global.
Untuk mengimplementasikan pendekatan konstekstual dalam pembelajaran pendidikan agama diperlukan beberapa modal dasar, antara lain:
pertama, perlunya pendekatan filsafat.
Fazlur Rahman (1982) menyatakan bahwa: “Philosophy is however a perennial intellectual need and has to be allowed to flourish both for its own sake and for the sake of other disciplines, since it inculcates a much needed analytical-critical spirit and generates new ideas that become important intellectual tools for other sciences not least for religion and theology. Therefore a people that deprives itself of philosophy necessarily expose itself to starvation in terms of fresh ideas-in fact it commits intellectual suicide”. “(Filsafat Namun kebutuhan intelektual abadi dan harus diperbolehkan untuk berkembang baik untuk kepentingan sendiri dan untuk kepentingan disiplin ilmu lainnya, karena menanamkan semangat analitis-kritis sangat dibutuhkan dan menghasilkan gagasan baru yang menjadi alat intelektual yang penting bagi ilmu lain tidak sedikit bagi agama dan teologi. Oleh karena itu orang-orang yang menghalangi dirinya dari filsafat harus mengekspos diri untuk kelaparan dalam hal ide-ide segar-ternyata melakukan bunuh diri intelektual ".
Satu hal yang patut digarisbawahi dari pernyataan Fazlur Rahman tersebut adalah bahwa orang yang meninggalkan dan mengabaikan filsafat dalam memahami teks-teks agama, maka ia akan kehilangan ide-ide segar yang aktual dan kontekstual. Karena itu, pendekatan filsafat sangat diperlukan bagi orang yang ingin mengembangkan pemahaman teks-teks agama secara kontekstual.
Kedua, perlunya memahami dan bersedia menerima beberapa pola pikir keagamaan. Setidak-tidaknya pola pikir keagamaan dalam hal hubungan antara makna dengan lafaz atau bentuk teks ada 3 aliran:
(1) monisme,
bahwa antara isi (makna) dengan lafaz atau bentuk teks merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Jadi, tidak ada kemungkinan perbedaan pendapat dalam memahami teks, karena merupakan sesuatu yang manunggal;
(2) dualisme,
bahwa antara isi (makna) dengan lafaz atau bentuk teks dapat dipisahkan, dalam arti masing-masing punya eksistensi tersendiri, meskipun ada hubungan tetapi hubungan tersebut tidaklah begitu kompleks;
(3) pluralisme,
bahwa hubungan antara isi (makna) dengan lafaz atau bentuk teks amatlah kompleks. Sebuah teks merupakan konstruk metafungsional yang terdiri atas makna ideasional, interpersonal dan tekstual yang kompleks. Jadi, bukan hanya masing-masing makna dan bentuk teks mempunyai eksistensi tersendiri, tetapi hubungan antara keduanya bersifat amat kompleks.
REFORMASI (PERBAIKAN) SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
Dosen Pengampu;
DR. H. WIDYO NUGROHO, MM.
Oleh :
FATCHURODJI (NIM: 5051030008)
BAB I
PENDAHULUAN
Kualitas sumber daya manusia bangsa Indonesia saat ini masih sangat rendah jika dibandingkan dengan negara lain bahkan dengan sesama anggota ASEAN. Pendidikan adalah kata kunci untuk meningkatkan kesejahteraan dan martabat bangsa. Tak salah jika kita sebut pendidikan sebagai pilar pokok dalam pembangunan bangsa. Tinggi-rendah derajat suatu bangsa bisa dilihat dari mutu pendidikan yang diterapkannya.
Pendidikan yang tepat dan efektif akan melahirkan anak-anak bangsa yang cerdas, bermoral, memiliki etos kerja dan inovasi yang tinggi. Negara-negara yang telah berhasil mencapai kemajuan dan menguasai teknologi-peradaban mengawali kesuksesannya dengan memberi perhatian yang besar terhadap sektor pendidikan nasionalnya. Sektor pendidikan mendapat dukungan penuh dan secara terus menerus sistemnya diperbaiki agar sesuai dengan kondisi, kebutuhan, dan daya akses seluruh lapis masyarakat mereka.
Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Sebagaimana diketahui, Undang-Undang adalah wujud dari harapan rakyat yang dimanifestasikan oleh DPR. Dalam hal ini harapan dan tantangan di masa depan, pendidikan merupakan sesuatu yang sangat berharga dan dibutuhkan. Pendidikan di masa depan diharapkan memainkan peranan yang sangat fundamental di mana cita-cita suatu bangsa dan negara dapat diraih. Bagi masyarakat suatu bangsa, pendidikan merupakan suatu kebutuhan yang akan menentukan masa depannya. Menghadapi masa depan yang sudah pasti diisi dengan arus globalisasi dan keterbukaan serta kemajuan dunia informasi dan komunikasi, pendidikan akan semakin dihadapkan terhadap berbagai tantangan dan permasalahan yang lebih rumit dari pada masa sekarang atau sebelumnya. Untuk itu, pembangunan di sektor pendidikan di masa depan perlu dirancang sedini mungkin agar berbagai tantangan dan permasalahan tersebut dapat diatasi. Dunia pendidikan nasional perlu dirancang agar mampu melahirkan generasi atau sumber daya manusia yang memiliki keunggulan pada era globalisasi dan keterbukaan arus informasi dan kemajuan alat komunikasi yang luar biasa.
Dalam membangun pendidikan di masa depan perlu dirancang sistem pendidikan yang dapat menjawab harapan dan tantangan terhadap perubahan-perubahan yang terjadi. Sistem pendidikan yang dibangun tersebut perlu berkesinambungan dari pendidikan prasekolah, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Pendidikan nasional yang dibutuhkan dalam abad mendatang adalah sistem pendidikan yang tidak hanya mampu mengembangkan kecerdasan akal semata, tetapi juga mampu mengembangkan kecerdasan emosi, spiritual, dan agama sekaligus sebagai satu kesatuan utuh.
BAB II
REFORMASI SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
A. Latarbelakang Reformasi Sistem Pendidikan Nasional
Dalam proses perjalanan UU No.2/l989 tentang Sisdiknas sekitar l3 tahun Sisdiknas dirasakan menunjukkan gejala-gejala sebagai berikut:
1. Sisdiknas telah menjadi alat politik pemerintah untuk memperkuat kekuasaannya.
2. Pendidikan terlalu diatur secara sentralistik oleh pemerintah, dan masyarakat kurang diberi peran dalam penyelenggaraan pendidikan; inisiatif, kreativitas dan inovasi masyarakat kurang mendapat kesempatan berkembang.
3. Pendidikan tidak dapat menjadi pranata sosial untuk pembudayaan dan transformasi masyarakat
4. Pendidikan tidak mampu menjawab tantangan lingkungan strategis, yaitu perkembangan politik-ekonomi-sosial-budaya, baik di daerah, nasional, maupun internasional yang berubah secara cepat.
5. Sisdiknas belum menerapkan prinsip-prinsip pendidikan: Pendidikan Untuk Semua, Pendidikan Seumur Hidup, dan Pendidikan Terbuka
Dalam upaya meningkatkan mutu sumber daya manusia, mengejar ketertinggalan di segala aspek kehidupan dan menyesuaikan dengan perubahan global serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bangsa Indonesia melalui DPR dan Presiden pada tanggal 11 Juni 2003 telah mensahkan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional yang baru yaitu Undang- Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003, sebagai pengganti Undang-undang Sisdiknas Nomor 2 Tahun 1989.
Paradigma Keberagaman
Pendidikan memiliki banyak wajah, sifat, jenis dan jenjang (pendidikan keluarga, sekolah, masyarakat, pondok pesantren, madrasah, program diploma, sekolah tinggi, institusi universitas, dsb). Namun hakikatnya satu, yaitu memanusiakan manusia. Hakikatnya pendidikan mengembangkan :
1. Human Dignity = harkat dan martabat manusia
2. Manizing Human = memanusiakan manusia benar-benar mampu menjadi khalifah.
Manusia mampu memilih, menetapkan dan membangun model kehidupannya dalam hidup bersama; bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam hal ini ada 3 jenis manusia:
1. Sepenuhnya pasrah apa kata Hukum Alam dan Sosial.
2. Sepenuhnya berontak mematahkan belenggu Hukum Alam dan Sosial.
3. Kombinasi keduanya, memiliki kecerdasan, kata hati dan keahlian serta kesadaran bahwa
tidak akan mampu melampaui Hukum Alam.
Paradigma Pemikiran Keilmuan
Ilmu merupakan bagian essensial isi ajaran agama (Islam). Ilmu terus mengalir & bergulir,tanpa dapat dicegah. Tidak ada monopoli dlm mengasuh dan mengklaim kebenaran ilmu.Tidak ada lagi pohon ilmu, telah berubah menjadi jaringan ilmu.
Hubungan antara agama dan ilmu adalah sebagai berikut:
1.Agama adalah Puncak Pencapaian, sedangkan Ilmu adalah Alat Pencapaian.
2.Agama adalah Kebenarannya Mutlak, sedangkan Ilmu Kebenarannya Relatif.
3.Ketika agama bertemu ilmu terjadi 4 model: Konflik, Inter Independensi, Dialog, Integrasi.
2.Agama adalah Kebenarannya Mutlak, sedangkan Ilmu Kebenarannya Relatif.
3.Ketika agama bertemu ilmu terjadi 4 model: Konflik, Inter Independensi, Dialog, Integrasi.
Paradigma Baru Pendidikan Nasional
Paradigma Pendidikan Nasional dapat dilihat dari visi, misi, tujuan, orientasi dan strategi sistem pendidikan.
Visi :
Menjadi Sistem Pendidikan yang unik/khas Indonesia dalam rangka mengembangkan kecerdasan kehidupan nasional berdasarkan nilai-nilai Pancasila sebagai satu kesatuan yang utuh, agar bangsa ini menjadi bangsa yang bermartabat dan terhormat dalam tata kehidupan internal modern “ Menjadi modern dengan tetap pada jati dirinya”.
Misi:
1.Menemukan, Mengamalkan dan Mengembangkan IPTEK dalam bingkai nilai-nilai / ajaran agama.
2.Menjadi IPTEK sebagai alat untuk mencapai puncak kebenaran agama
3.Memberantas “kebodohan bangsa”.
4. Kebodohan:Sumber Segala Malapetaka,meskipun Kebodohan bukan Dosa
5. Mengembangkan Pendidikan Multikultural.
Tujuan:
1.Mengembangkan Potensi kemampuan peserta didik dalam menguasai IPTEK untuk kemaslahatan kehidupan bersama dan memelihara lingkungan kehidupan.
2.Mengembangkan budaya belajar: “Sekolah boleh selesai, belajar tidak kenal berhenti”
Orientasi Pendidikan:
• Pendidikan untuk semua, secara merata dan adil
• Kebutuhan, kenyataan dan “life skill” dalam tata kehidupan bersama.
• Kebutuhan “duniawiyah” tanpa melepaskan diri dari bayang-bayang kehidupan surgawi-ukrowiyah.
B. Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003
Undang-undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 yang terdiri dari 22 Bab dan 77 pasal tersebut juga merupakan pengejawantahan dari salah satu tuntutan reformasi yang marak sejak tahun 1998. Perubahan mendasar yang dicanangkan dalam Undang-undang Sisdiknas yang baru tersebut antara lain adalah demokratisasi dan desentralisasi pendidikan, peran serta masyarakat, tantangan globalisasi, kesetaraan dan keseimbangan, jalur pendidikan, dan peserta didik.
Demokratisasi dan Desentralisasi (Otonomi Daerah)
Tuntutan reformasi yang sangat penting adalah demokratisasi, yang mengarah pada dua hal yakni pemberdayaan masyarakat dan pemberdayaan pemerintah daerah (otda). Hal ini berarti peranan pemerintah akan dikurangi dan memperbesar partisipasi masyarakat. Demikian juga perana pemerintah pusat yang bersifat sentralistis dan yang telah berlangsung selama 50 tahun lebih, akan diperkecil dengan memberikan peranan yang lebih besar kepada pemerintah daerah.
C. Potret Pendidikan pada Era Reformasi
UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) telah berusia lima tahun. Di tengah hiruk-pikuk pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) di berbagai penjuru nusantara, tidak banyak kalangan yang mengingatkan publik bahwa UU Sisdiknas telah berusia lima tahun. Padahal, lebih dari lima tahun lalu, proses pembahasan (rancangan) UU itu sempat diwarnai perdebatan cukup sengit dan menguras emosi massa.
Di tengah polemik dan kontroversi, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) -minus Fraksi PDIP- akhirnya menyetujui (rancangan) UU ini pada 11 Juni 2003. Tidak sampai sebulan kemudian, Presiden Megawati pun menandatanganinya pada 8 Juli 2003.
Ironisnya, perdebatan sengit yang mewarnai pembahasan UU tersebut tidak sebanding dengan kesadaran masyarakat untuk mengontrol implementasinya. Akibatnya, tidak jarang implementasi UU Sisdiknas justru melenceng jauh dari semangat reformasi pendidikan nasional.
Kelemahan paling menonjol dari implementasi UU Sisdiknas adalah kelambanan pemerintah menyiapkan peraturan pelaksanaannya. Dalam catatan JPIP, pada pertengahan Juli 2003, pemerintah melalui A. Malik Fadjar yang waktu itu menjabat Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) menyatakan telah menyiapkan 13 rancangan peraturan pemerintah (RPP) turunan UU Sidiknas.
Era reformasi melahirkan keterkejutan budaya, bagaikan orang yang terkurung dalam penjara selama puluhan tahun kemudian melihat tembok penjara runttuh. Mereka semua keluar mendapati pemandangan yang sangat berbeda, kebebasan dan keterbukaan yang nyaris tak terbatas. Suasana psikologis eforia itu membuat masyarakat tidak bisa berfikir jernih, menuntut hak tapi lupa kewajiban, mengkritik tetapi tidak mampu menawarkan solusi.
Masyarakat pendidikan tersadar bahwa SDM produk dari sistem pendidikan nasional kita tidak bisa bersaing dalam persaingan global sehingga kita hanya mampu mengekspor tenaga kerja PRT, sebaliknya tenaga skill pun di dalam negeri harus bersaing dengan tenaga skill dari luar. Problemnya, output pendidikan yang bermutu itu baru dapat dinikmati 20-25 tahun kemudian. SDM kita yag tidak kompetetif hari ini adalah juga produkdari sistem pendidikan sejak 20-30 tahun yang lalu. Untuk mengubah sistem pendidikan secara radikal juga punya problem, yaitu tenaga guru yang kita miliki adalah produk dari sistem pendidikan yang tidak tidak tepat. Dalam konsep IKIP guru adalah instrument pendidikan, bukan tokoh yang bisa mentransfer kebudayaan kepada anak didiknya. Lingkaran setan inilah yang sulit diputus.
Dibutuhkan keputusan politik dan kemauan politik yang sungguh-sungguh untuk mengubah sistem pendidikan di Indonesia menjadi pembangun budaya bangsa. Sayang ahli-ahli pendidikan kita lebih berorientasi kepada teksbook dibanding melakukan ujicoba sistem di lapangan. Guru-guru SD tetap saja hanya tenaga pengajar, bukan guru yang digugu dan ditiru seperti dalam filsafat pendidikan nasional kita sejak dulu. Mestinya Doktor dan Profesor bidang pendidikan tetap mengajar di SD-SLP sehingga mampu melahirkan sistem pendidikan berbasis budaya, menemukan realita-realita yang bisa dikembangkan menjadi teori, bukan kemudian berkumpul di birokrasi untuk kemudian mengatur pendidikan dari balik meja berpedoman kepada teori-teori Barat. Selagi pendidikan di SD dilaksanakan oleh tukang pengajar, maka sulit mengembangkan mereka pada jenjang pendidikan berikutnya.
Pendidikan bermutu memang mahal, tetapi kenaikan anggaran pendidikan di APBN menjadi 20 % pun tidak banyak membantu jika kreatifitas Depdiknas, hanya pada proyek-proyek pendidikan bukan pada pengembangan pendidikan.
Swasta mempunyai peluang untuk melakukan inovasi pendidikan tanpa terikat aturan birokrasi, tetapi menjadi sangat menyedihkan ketika dijumpai banyak lembaga pendidikan swasta yang orientasinya pada bisnis pendidikan.
Sekolah international diperlukan sebagai respon terhadap globalisasi, tetapi pembukaan sekolah international oleh asing sangat riskan dari segi budaya bangsa karena filsafat pendidikannya berbeda.
Saat ini fokus kerja Pemerintah masih bertumpu pada sektor pendidikan formal. Untuk kinerja itupun Pemerintah Indonesia oleh UNDP (United Nations Development Programs) – dalam “Human Development Report 2006” untuk kualitas pembangunan manusia– diganjar peringkat 108 dari 177 negara di dunia. Potret UNDP itu sebangun dengan data BPS (Biro Pusat Statistik) tahun 2005 tentang angka pengangguran menurut pendidikan dan wilayah desa-kota: persentase pengangguran tamatan SMA ke atas lebih besar dibanding tamatan SMP ke bawah. Artinya, sistem Pendidikan Nasional belum berhasil mengantarkan anak bangsa untuk survive mandiri dan terampil berwirausaha untuk kelangsungan hidupnya sendiri. Untuk mempercepat dan memperluas budaya belajar sebaiknya anggaran pendidikan negara bukan hanya diperuntukkan bagi sekolah formal, tetapi juga untuk sekolah informal dan sekolah non formal. Pada satu titik nanti pasar tenaga kerja tidak lagi melihat ijazah sekolah formal tetapi melihat skill tenaga kerja, dan ini bisa dikermbangkan di sekolah informal dan non formal. Pada satu titik nanti, gelar-gelar akademik juga tidak lagi relefan.
Sekolah adalah tempat menumbuhkansuburkan nilai-nilai luhur dalam diri anak bangsa yang menjadi peserta didik. Tentu saja aspek moral tidak boleh dilupakan. Tawuran dan perilaku asusila sebagian oknum pelajar/mahasiswa adalah cermin belum terimplementasikannya amanat UUD 1945 dan UU Sistem Pendidikan Nasional tentang nilai-nilai agama. Kegiatan sekolah lebih besar porsinya untuk pengajaran. Padahal pengajaran tanpa bingkai pendidikan moral hanya menciptakan orang pintar yang kehilangan arah dari hakikat kemuliaan eksistensinya sebagai makhluk mulia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Tahun 2003, pasal 17 menyiratkan bahwa Madrasah Ibtidaiyah (MI) merupakan jenjang pendidikan yang setara dengan sekolah dasar (SD), madrasah Tsanawiyah (MTs) setara dengan sekolah menengah pertama (SMP). Pasal 18 mengungkapkan bahwa madrasah aliyah (MA) setara dengan sekolah menengah atas (SMA) serta madrasah aliyah kejuruan (MAK) setara dengan sekolah menengah kejuruan (SMK).
Namun legal formal kesetaraan belum mampu mengangkat kualitas pendidikan sains madrasah untuk menyejajarakan diri dengan sekolah umum. Permasalahan yang ada sebetulnya adalah masalah klise, seperti sarana dan prasarana, guru, dan kurikulum. Kenyataan, banyak murid madrasah belajar di bawah ancaman runtuhnya bangunan. Banyak madrasah tidak memiliki sarana dan prasarana yang memenuhi standar minimal.
Masalah klise lain adalah pendidik. Minimnya tenaga pendidik, tidak memiliki kualifikasi edukasi, dan salah kamar (mismatch) dari pendidik, paling banyak ditemui di madrasah. Kurikulum madrasah sebagai hasil adopsi dari kurikulum sekolah umum, terlalu padat dan berat, karena sarat dengan muatan kognitif. Selain itu juga, kurikulum tidak mengembangkan potensi anak secara maksimal. Dalam keadaan kurikulum sulit "dicerna" anak, pembebanan makin bertambah dengan muatan lokal madrasah yang juga membutuhkan kemampuan pemahaman yang baik.
Kenyataan-kenyataan yang menjadi faktor penghambat dalam meningkatkan kualitas madrasah harus segera ditata ulang. Harus ada usaha dan keinginan yang kuat untuk merevitalisasi madrasah, sehingga tidak ada kesan seolah madrasah menjadi sekolah kelas dua.
Dewasa ini hampir setiap individu telah menempatkan materi dan kekuasan menjadi tujuan hidup. Suatu fakta yang sulit ditepis, bahwa dengan kekayaan materi dan atau kekuasaan, membuat orang menjadi terhormat. Untuk memberikan perlawanan terhadap hal ini, dibutuhkan pendidikan yang memberikan keseimbangan dalam mengembangkan kecerdasan akal dan kecerdasan spiritual.
Model pendidikan yang sesuai dengan harapan itu adalah madrasah. Madrasah telah memiliki landasan dalam mengembangkan potensi manusia secara utuh di mana pendidikan yang mengembangkan kecerdasan akal dan kecerdasan ilmu agama yang di dalamnya sudah tercakup kecerdasan emosi dan moral sudah diterapkan.
Pendidikan yang bernuansa Islam yang semakin kondusif berhasil diadopsi oleh sekolah-sekolah swasta Islam. Sekolah-sekolah itu telah menyinergikan secara apik antara pendididikan sains dan pendidikan agama. Kecermatan pengelolaan telah membuahkan output yang mampu bersaing, sehingga mendapat tempat di masyarakat.
Karena itu, seluruh komponen bangsa harus bersatu-padu dan meningkatkan komitmen untuk merumuskan dan merealisasikan kebijakan peningkatan mutu pendidikan. Sebab, pembangunan dan penyelenggaraan Pendidikan Nasional yang benar dan efektif merupakan amanat konstitusi sekaligus tuntutan zaman yang tak bisa dielakan. Tanpa itu, bangsa besar ini akan masuk dalam daftar sejarah sebagai bangsa yang kalah dan musnah.
D. Evaluasi Sistem Pendidikan Nasional
Jika kita sering mendengar sesama kita memperolok-olok manusia Indonesia, sesungguhnya kualitas manusia ditentukan oleh dua hal:
1.Faktor hereditas, faktor keturunan.
Manusia Indonesia dewasa ini adalah keturunan langsung manusia Indonesia generasi 45 dan cucu dari generasi 1928, cicit dari generasi 1912. Menurut bapak sosiologi Ibnu Khaldun, jatuh bangunnya suatu bangsa ditandai oleh lahirnya tiga generasi. Pertama
generasi Pendobrak,kedua generasi Pembangun dan ketiga generasi penikmat. Jika pada bangsa itu sudah banyak kelompok generasi penikmat, yakni generasi yang hanya asyik menikmati hasil pembangunan tanpa berfikir harus membangun, maka itu satu tanda bahwa bangsa itu akan mengalami kemunduran.
Proses datang perginya tiga generasi itu menurut Ibnu Khaldun berlangsung dalam kurun satu abad. Yang menyedihkan pada bangsa kita dewasa ini ialah bahwa baru setengah abad lebih, ketika generasi pendobrak masih ada satu dua yang hidup, ketika generasi pembangun
masih belum selesai bongkar pasang dalam membangun, sudah muncul sangat banyak generasi penikmat, dan mereka bukan hanya kelompok yang kurang terpelajar, tetapi justru kebanyakan dari kelompok yang terpelajar.
2. Faktor pendidikan.
Pendidikanlah yang bisa membangun jiwa bangsa Indonesia. Sekurang-kurangnya ada
sembilan point kekeliruan pendidikan nasional kita selama ini, meliputi:
[1] Pengelolaan pendidikan di masa lampau terlalu berlebihan penekanannya pada aspek kognitip, mengabaikan dimensi-dimensi lainnya sehingga buahnya melahirkan generasi yang mengidap split personality, kepribadian yang pecah.
[2] Pendidikan terlalu sentralistik sehingga melahirkan generasi yang hanya bisa memandang Jakarta (ibu kota) sebagai satu-satunya tumpuan harapan tanpa mampu melihat peluang dan potensi besar yang tersedia di daerah masing-masing.
[3] Pendidikan gagal meletakkan sendi-sendi dasar pembangunan masyarakat yang berdisiplin.
[4] Gagal melahirkan lulusan (SDM) yang siap berkompetisi di dunia global
[5] Pengelolaan pendidikan selama ini mengabaikan demokratisasi dan hak-hak azasi manusia. [6] Pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan pendidikan dan SDM dikalahkan oleh uniformitas yang sangat sentralistik. Kreatifitas masyarakat dalam pengembangan pendidikan menjadi tidak tumbuh.
[7] Sentralisasi pendidikan nasional mengakibatkan tumpulnya gagasan-gagasan otonomi daerah.
[8] Pendidikan nasional kurang menghargai kemajemukan budaya, bertentangan dengan semangat bhinneka Tunggal Ika.
[9] Muatan indoktrinasi nasionalisme dan patriotisme yang dipaksakan –yakni melalui P4 dan
PMP, terlalu kering sehingga kontraproduktif.
Sembilan kesalahan dalam pengelolaan pendidikan nasional ini sekarang
telah mengakibatkan:
• Generasi muda yang tidak memiliki kemampuan imajinasi idealistik.
• Angkatan kerja yang tidak bisa berkompetisi dalam lapangan kerja pasar global.
• Birokrasi yang lamban, korup dan tidak kreatif.
• Pelaku ekonomi yang tidak siap bermain fair
• Masyarakat luas yang mudah bertindak anarkis
• Sumberdaya alam (terutama hutan) yang rusak parah
• Cendekiawan yang hipokrit,
• Hutang Luar Negeri yang tak tertanggungkan
• Merajalelanya tokoh-tokoh pemimpin yang rendah moralnya.
• Pemimpin-pemimpin daerah yang kurang bijak dalam peggunaan dana daerah.
E.Agenda Reformasi Sistem Pendidikan Nasional
1. Melakukan pembangunan Sistem Pendidikan Nasional yang konprehensif, integratif, dan aplikatif. Makna konprehensif adalah menjamin perbaikan yang berkelanjutan, integratif tak memisahkan aspek moral dan nilai-nilai luhur dari pembelajaran dan pengajaran, dan aplikatif menunjuk pada mutu dan meningkatnya daya saing bangsa.
2. Meningkatkan wajib belajar dari Sembilan tahun menjadi dua belas tahun.
3. Meningkatkan kopetensi, kesejahteraan, penghargaan, dan perlindungan terhadap profesi guru tanpa membeda-bedakan status kepegawaian, PNS atau swasta
4. Mengawal realisasi anggaran pendidikan yang besarnya 20% dari total APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) sebagaimana amanah Pasal 31 ayat 4 Amandemen IV UUD 1945.
5. Melakukan monitoring dan evaluasi sistematis terhadap berbagai aspek konsep dan operasional Sistem Pendidikan Nasional di semua jenis, jenjang, dan jalur pendidikan.
6. Memastikan terlaksananya proses pendidikan yang menanamkan jiwa kebebasan, kemandirian, kewirausahaan, dan meningkatkan keterampilan hidup dan daya juang kepada anak-anak bangsa yang menjadi peserta didik.
7. Menerapkan desentralisasi penyelenggaraan pendidikan dan meningkatkan partisipasi masyarakat baik dalam penyelenggaraan pendidikan formal, nonformal, dan informal.
8. Meningkatkan kualitas pengelolaan manajemen sekolah dan metode pembelajaran serta menjadikan sekolah tidak lagi sebagai menara gading yang steril dari analisis kebutuhan lingkungan sekitarnya. Sekolah bukan hanya tempat penyelenggaraan pendidikan, tapi juga bisa menjadi pusat latihan, seminar, workshop, dan studi banding. Sekolah adalah pusat belajar masyarakat di wilayahnya berada.
9. Terselenggaranya pendidikan yang murah, bermutu, dan berwawasan global yang memiliki daya saing nasional di percaturan global.
10. Memberi perhatian serius pada pendidikan khusus bagi anak bangsa yang disebabkan oleh cacat atau kecerdasan luar biasa peserta didik.
11. Menjadikan sekolah sebagai tempat kaderisasi kepemimpinan nasional dan memasukkan program wajib militer untuk menumbuhkan rasa nasionalisme.
12. Menumbuhkan kepedulian masyarakat terhadap pendidikan. Kesadaran masyarakat untuk ambil bagian dalam pendidikan adalah bentuk dari ketahanan sosial atas perubahan tantangan lingkungan yang terjadi. Pendidikan tidak lagi menjadi tanggung jawab orang tua secara individu per individu, tetapi itu tanggung jawab komunitas secara bersama.
13.Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Itulah tiga belas agenda perbaikan Pendidikan yang urgen dilaksanakan untuk mewujudkan kesejahteraan dan ketinggian martabat bangsa yang kita harapkan.
Pelaksanaan proses pendidikan harus efektif untuk menanamkan jiwa kebebasan, kemandirian, dan kewirausahaan. Dengan begitu anak-anak bangsa yang menjadi peserta didik bisa eksis dalam persaingan di masa datang berbekal keterampilan hidup (life skill) dan daya juang (adversity quotient) yang mumpuni. Kurikulum diarahkan untuk memberi pengalaman belajar yang seimbang yang meliputi aspek intektual (IQ), emosional (EQ), dan spiritual (SQ). Dan titik tekannya adalah membentuk karakter pembelajar agar anak bangsa yang menjadi peserta didik memiliki keinginan untuk belajar di sepanjang hayatnya. Tipe bangsa pembelajarlah yang bisa survive menghadapi persaingan global yang rivalitasnya bukan lagi di tataran negara vs negara atau kota vs kota. Tetapi, sudah di level individu vs individu.
BAB III
KESIMPULAN
Upaya memperbaiki Pendidikan Nasional tidak hanya menyangkut masalah fisik dan dana saja. Tapi, harus lebih mendasar dan strategis. Sistem Pendidikan Nasional perlu direformasi dengan memadukan wahyu Tuhan dan ilmu pengetahuan sebagai arena utama aktivitas pendidikan. Sekolah bukan hanya menjadi tempat pembekalan pengetahuan kepada anak bangsa, tapi juga lembaga penanaman nilai dan pembentuk sikap dan karakter. Anak-anak bangsa dikembangkan bakatnya, dilatih kemampuan dan keterampilannya. Sekolah tempat menumbuhkembangkan potensi akal, jasmani, dan rohani secara maksimal, seimbang, dan sesuai tuntutan zaman. Output keseluruhan proses pendidikan adalah menyiapkan peserta didik untuk bisa merealisasikan fungsi penciptaannya sebagai hamba Tuhan dan kemampuan mengemban amanah mengelola bumi untuk dihuni secara aman, nyaman, damai, dan sejahtera.
DAFTAR PUSTAKA
UU No.20/2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
PP No. 19/2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan
Al-Baghdadi, Abdurrahman. 1996. Sistem Pendidikan di Masa Khilafah Islam. Bangil-Jatim: Al-Izzah
Arifi ahmad.2010. Politik Pendidikan Islam di Tengah Arus Globalisasi. Yogyakarta: Teras
Muhamad Shidiq Al-Jawi. Pendidikan Di Indonesia, Masalah dan Solusinya. Artikel. www.khilafah1924.org
http:///erik12127.wordpress.com. PARADIGMA BARU PENDIDIKAN NASIONAL DALAM
UNDANG-UNDANG SISDIKNAS NO 20 TAHUN 2003.
http:///fkip-unpas.com Latar Belakang Terbitnya UUNo. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional
http:///imamsamroni.wordpress.com[2008/12/01] . Bedah buku msi uii : Menata Ulang Pemikiran Sisdiknas Abad XXI.
http:///sanaky.com . [ 29 Juli 2005] MENATA ULANG PEMIKIRAN SISTEM PENDIDIKAN
NASIONAL DALAM ABAD 21
http://www.mirifica.net. MENYONGSONG HADIRNYA UNDANG-UNDANG SISTEM
PENDIDIKAN NASIONAL 2003.
www.unindra.ac.id [5 Maret 2008]. Problem Pendidikan di Era Reformasi
PERANAN GURU DALAM PENDIDIKAN ISLAM
Dosen Pengampu;
DR. H. WIDYO NUGROHO, MM.
Oleh :
FATCHURODJI (NIM: 5051030008)
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, taufiq, serta hidayah-Nya kepada kita khususnya bagi Penulis, sehingga kami dapat menyusun makalah ini. Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang mana telah menunjukkan kita dari jalan yang sesat menuju jalan yang benar.
Didalam proses penyusunan makalah ini kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu terselesaikannya makalah ini.
Akhirnya, kami menyadari bahwa penyusunan makalah ini bukanlah proses akhir, tetapi merupakan langkah awal yang masih banyak memerlukan perbaikan. Kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan dan kami terima dengan tangan terbuka. Dan kami mengharap makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi Penulis dan umumnya bagi pembaca.
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.............................................................................................. i
KATA PENGANTAR........................................................................................... ii
DAFTAR ISI......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN................................................................................. 2
A. Definisi Guru Dalam Pendidikan Islam......................................... 2
B. Kedudukan Guru dalam Pandangan Islam.................................... 3
C. Tugas Guru dalam Islam................................................................ 4
D. Syarat Guru dalam Pendidikan Islam............................................ 5
E. Sifat Guru dalam Pandangan Islam............................................... 6
F. Kewajiban Guru dalam Pendidikan Islam..................................... 7
BAB III KESIMPULAN................................................................................... 9
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 10
BAB I
PENDAHULUAN
Dari segi bahasa, pendidik adalah orang yang mendidik. Pengertian ini memberi kesan bahwa pendidik adalah orang yang melakukan kegiatan dalam bidang mendidik. Dalam bahasa Inggris dijumpai beberapa kata yang berdekatan artinya dengan pendidik. Kata tersebut seperti teacher yang diartikan guru atau pengajar dan tutor yang berarti guru pribadi atau guru yang mengajar di rumah. Selanjutnya dalam bahasa Arab dijumpai akta ustadz, mudarris, mu’allim, dan mu’addib.
Beberapa istilah tentang pendidik tersebut mengacu kepada seseorang yang memberikan pengetahuan, ketrampilan atau pengalaman kepada orang lain. Kata-kata yang bervariasi tersebut menunjukkan adanya perbedaan ruang gerak dan lingkungan dimana pengetahuan dan ketrampilan tersebut diberikan. Jika pengetahuan dan ketrampilan tersebut diberikan di sekolah disebut teacher, di perguruan tinggi disebut lecturer atau professor, di rumah-rumah secara pribadi disebut tutor, di pusat-pusat latihan disebut instructor atau trainer dan di lembaga-lembaga pendidikan yang mengajarkan agama disebut educator.
Dengan demikian, kata pendidik secara fungsional menunjukkan kepada seseorang yang melakukan kegiatan dan memberikan pengetahuan, ketrampilan, pendidikan, pengalaman, dan sebagainya. Orang yang melakukan kegiatan ini bisa siapa saja dan dimana saja. Di rumah orang yang melakukan tugas tersebut adalah kedua orangtua. Karena secara moral dan teologi merekalah yang diserahi tanggung jawab mendidik anaknya. Selanjutnya di sekolah tugas tersebut dilakukan oleh guru, dan di masyarakat dilakukan oleh organisasi-organisasi kependidikan dan sebagainya. Atas dasar ini, maka yang termasuk dalam pendidikan itu bisa kedua orangtua, guru, tokoh masyarakat, dan sebagainya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Guru dalam Pendidikan Islam
Pendidik dalam Islam ialah siapa saja yang bertanggung-jawab terhadap perkembangan anak didik. Dalam Islam, orang yang paling bertanggung-jawab adalah orangtua (ayah dan ibu) anak didik. Tanggung jawab itu disebabkan oleh dua hal yaitu pertama, karena kodrat yaitu karena orangtua ditakdirkan menjadi orangtua anaknya, dan karena itu ia ditakdirkan pula bertanggung-jawab mendidik anaknya. Kedua, karena kepentingan kedua orangtua yaitu orangtua berkepentingan terhadap kemajuan perkembangan anaknya.[1]
Kemudian pendidik dalam Islam adalah guru. Kata guru berasal dalam bahasa Indonesia yang berarti orang yang mengajar. Dalam bahasa Inggris, dijumpai kata teacher yang berarti pengajar.[2]
Dalam bahasa Arab istilah yang mengacu kepada pengertian guru lebih banyak lagi seperti al-alim (jamaknya ulama) atau al-mu’allim, yang berarti orang yang mengetahui dan banyak digunakan para ulama/ahli pendidikan untuk menunjuk pada hati guru. Selain itu ada pula sebagian ulama yang menggunakan istilah al-mudarris untuk arti orang yang mengajar atau orang yang memberi pelajaran. Selain itu terdapat pula istilah ustadz untuk menunjuk kepada arti guru yang khusus mengajar bidang pengetahuan agama Islam.[3]
Jadi, guru yang dimaksud disini ialah pendidik yang memberikan pelajaran kepada murid, biasanya guru adalah pendidik yang memegang mata pelajaran di sekolah.
B. Kedudukan Guru dalam Pandangan Islam
Salah satu hal yang menarik pada ajaran Islam ialah penghargaan Islam yang sangat tinggi terhadap guru. Begitu tingginya penghargaan itu sehingga menempatkan kedudukan guru setingkat di bawah kedudukan nabi dan rasul. Mengapa demikian? Karena guru selalu terkait dengan ilmu (pengetahuan), sedangkan Islam sangat menghargai pengetahuan.
Sebenarnya tingginya kedudukan guru dalam Islam merupakan realisasi ajaran Islam itu sendiri. Islam memuliakan pengetahuan, pengetahuan itu didapat dari belajar dan mengajar, yang belajar adalah calon guru, dan yang mengajar adalah guru. Maka, tidak boleh tidak, Islam pasti memuliakan guu. Tak terbayangkan terjadinya perkembangan pengetahuan tanpa adanya orang yang belajar dan mengajar, tidak terbayangkan adanya belajar dan mengajar tanpa adanya guru. Karena Islam adalah agama, maka pandangan tentang guru, kedudukan guru, tidak terlepas dari nilai-nilai kelangitan.[4]
Ada penyebab khas mengapa orang Islam amat menghargai guru, yaitu pandangan bahwa ilmu (pengetahuan) itu semuanya bersumber pada Tuhan :
“Tidak ada pengetahuan yang kami miliki kecuali yang Engkau ajarkan kepada kami”
Ilmu datang dari Tuhan, guru pertama adalah Tuhan. Pandangan yang menembus langit ini tidak boleh tidak telah melahirkan sikap pada orang Islam bahwa ilmu itu tidak terpisah dari Allah, ilmu tidak terpisah dari guru, maka kedudukan guru amat tinggi dalam Islam.[5]
C. Tugas Guru dalam Islam
Mengenai tugas guru, ahli-ahli pendidikan Islam juga ahli pendidikan Barat telah sepakat bahwa tugas guru ialah mendidik. Mendidik adalah tugas yang amat luas. Mendidik itu sebagian dilakukan dalam bentuk mengajar, sebagian dalam bentuk memberikan dorongan, memuji, menghukum, memberi contoh, membiasakan, dan lain-lain.[6]
Dalam Al-Qur'an juga dijelaskan tentang tugas seorang pendidik atau guru. Al-Qur'an telah mengisyaratkan peran para nabi dan pengikutnya dalam pendidikan dan fungsi fundamental mereka dalam pengkajian ilmu-ilmu Ilahi serta aplikasinya. Isyarat tersebut, salah satunya terdapat dalam firman-Nya berikut ini :[7]
Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah." Akan tetapi (dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.”
Allah yang Maha Tinggi dan Maha Agung mengisyaratkan bahwa tugas terpenting yang diemban oleh Rasulullah Saw. adalah mengajarkan al-kitab, hikmah dan penyujian diri sebagaimana difirmankan Allah ini :[8]
“Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Quran) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.”.
Dalam literatur yang ditulis oleh ahli pendidikan Islam, tugas guru ternyata bercampur dengan syarat dan sifat guru. Ada beberapa pernyataan tentang tugas guru yang dapat disebutkan disini, yang diambil dari uraian penulis muslim tentang syarat dan sifat guru, misalnya sebagai berikut : [9]
- Guru harus mengetahui karakter murid.
- Guru harus selalu berusaha meningkatkan keahliannya.
- Guru harus mengamalkan ilmunya.
D. Syarat Guru dalam Pendidikan Islam
Syarat terpenting bagi guru dalam Islam ialah sebagai berikut : [10]
1. Umur, harus sudah dewasa
Tugas mendidik adalah tugas yang amat penting karena menyangkut perkembangan seseorang. Oleh karena itu, tugas itu harus dilakukan secara bertanggung-jawab. Itu hanya dapat dilakukan oleh orang yang telah dewasa.
2. Kesehatan, harus sehat jasmani dan rohani
Jasmani yang tidak sehat akan menghambat pelaksanaan pendidikan, bahkan dapat membahayakan anak didik bila mempunyai penyakit menular. Dari segi rohani, orang gila berbahaya dalam mendidik dan tidak bisa bertanggung-jawab.
3. Keahlian, harus menguasai bidang yang diajarkannya dan menguasai ilmu mendidik (termasuk ilmu mengajar)
Ini penting sekali bagi pendidik, termasuk guru. Orangtua di rumah sebenarnya perlu sekali mempelajari teori-teori ilmu pendidikan. Dengan pengetahuannya diharapkan ia akan lebih berkemampuan menyelenggarakan pendidikan bagi anak-anaknya di rumah.
4. Harus berkepribadian muslim, berkesusilaan dan berdedikasi tinggi
Syarat ini amat penting dimiliki untuk melaksanakan tugas-tugas mendidik selain mengajar. Dedikasi tinggi tidak hanya diperlukan dalam meningkatkan mutu mengajar. Selain itu juga harus berkepribadian muslim.
E. Sifat Guru dalam Pandangan Islam
Agar seorang pendidik dapat menjalankan fungsi sebagaimana yang telah dibebankan Allah kepada Rasul dan pengikutnya, maka dia harus memiliki sifat-sifat berikut ini :[11]
1) Setiap pendidik harus memiliki sifat rabbani sebagaimana dijelaskan Allah. Jika seorang pendidik telah bersifat rabbani, seluruh kegiatan pendidikannya bertujuan menjadikan anak didiknya sebagai generasi rabbani yang memandang jejak keagungan-Nya.
2) Seorang guru hendaknya menyempurnakan sifat rabbaniyahnya dengan keikhlasan. Artinya, aktifitas sebagai pendidik bukan semata-mata untuk menambah wawasan keilmuannya, lebih jauh dari itu harus ditujukan untuk meraih keridhaan Allah serta mewujudkan kebenaran.
3) Seorang pendidik hendaknya mengajarkan ilmunya dengan sabar.
4) Ketika menyampaikan ilmunya kepada anak didik, seorang pendidik harus memiliki kejujuran dengan menerapkan apa yang dia ajarkan dalam kehidupan pribadinya.
5) Seorang guru harus senantiasa meningkatkan wawasan, pengetahuan dan kajiannya.
6) Seorang pendidik harus cerdik dan terampil dalam menciptakan metode pengajaran yang variatif serta sesuai dengan situasi dan materi pelajaran.
7) Seorang guru harus mampu bersikap tegas dan meletakkan sesuatu sesuai proporsinya sehingga dia akan mampu mengontrol dan menguasai siswa.
8) Seorang guru dituntut untuk memahami psikologi anak, psikologi perkembangan dan psikologi pendidikan sehingga ketika dia mengajar, dia akan memahami dan memperlakukan anak didiknya sesuai kadar intelektual dan kesiapan psikologisnya.
9) Seorang guru dituntut untuk peka terhadap fenomena kehidupan sehingga dia mampu memahami berbagai kecenderungan dunia beserta dampak dan akibatnya terhadap anak didik, terutama dampak terhadap akidah dan pola pikir mereka.
10) Seorang guru dituntut memiliki sikap adil terhadap seluruh anak didiknya.
F. Kewajiban Guru dalam Pendidikan Islam
Kewajiban yang harus diperhatikan oleh guru menurut pendapat Imam Ghazali yaitu :[12]
1) Harus menaruh rasa kasih sayang terhadap murid dan memperlakukan mereka seperti anak sendiri.
2) Tidak mengharapkan balas jasa ataupun ucapan terima kasih, tetapi bermaksud dengan mengajar mencari keridhaan Allah.
3) Mencegah murid dari sesuatu akhlak yang tidak baik dengan jalan sindiran dan jangan dengan cara terus terang, dengan jalan halus dan jangan mencela.
4) Supaya diperhatikan tingkat akal pikiran anak-anak dan berbicara dengan mereka menurut kadar akalnya dan jangan disampaikan sesuatu yang melebihi tingkat tangkapannya.
5) Jangan timbulkan rasa benci pada diri murid mengenai suatu cabang ilmu yang lain.
6) Sang guru harus mengamalkan ilmunya dan jangan berlain kata dengan perbuatannya.
BAB III
KESIMPULAN
Dalam bab ini telah dibicarakan : (1) pengertian guru, (2) kedudukan guru, (3) tugas guru, (4) syarat guru, dan (5) sifat guru menurut pandangan Islam. Secara sederhana guru ialah pendidik yang mengajar di kelas. Islam mendudukkan guru pada martabat yang tinggi, setingkat di bawah martabat nabi dan rasul. Tugas guru ialah mendidik dengan cara mengajar, memberi contoh, membiasakan, dan lain-lain. Syarat guru ialah dewasa, sehat lahir batin, ahli, dan berkepribadian muslim. Sifat guru ialah semua sifat yang mendukung (melengkapi) syarat tersebut. Diantara sifat-sifat itu, sifat kasih sayang amat diutamakan.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Tafsir. 1994. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung : Remaja Rosdakarya.
Abuddin Nata. 2001. Perspektif Islam tentang Pola Hubungan Guru-Murid. Jakarta : Raja Grafindo.
Abdurrahman An-Nahlawi. 1996. Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat. Jakarta : Gema Insani.
Mohd. Athiyah Al-Abrasyi. 1993. Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam. Jakarta : Bulan Bintang.
[1] DR. Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 1994), 74.
[2] Dr. H. Abuddin Nata, M.A. Perspektif Islam tentang Pola Hubungan Guru-Murid, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2001), 41.
[3] Ibid, 41-42.
[4] DR. Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, 76.
[5] Ibid, 77.
[6] Ibid, 78.
[7] Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat (Jakarta : Gema Insani Press, 1996)
[8] Ibid, 169.
[9] DR. Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, 79.
[10] Ibid, 80-81.
[11] Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, 170-175.
[12] Mohd. Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1993), 150-151.
KARAKTERISTIK GURU DALAM PENDIDIKAN ISLAM
Dosen Pengampu;
DR. H. WIDYO NUGROHO, MM.
Oleh :
FATCHURODJI (NIM: 5051030008)
A. Pendahuluan
Salah satu hal yang menarik pada ajaran Islam ialah penghargaan Islam yang sangat tinggi terhadap guru. Begitu tingginya penghargaan itu sehingga menempatkan kedudukan guru setingkat di bawah kedudukan nabi dan rasul. Mengapa demikian? Karena guru selalu terkait dengan ilmu (pengetahuan), sedangkan Islam sangat menghargai pengetahuan.
- Tugas Guru dalam Pendidikan Islam
Mengenai tugas guru, ahli-ahli pendidikan Islam juga ahli pendidikan Barat telah sepakat bahwa tugas guru ialah mendidik. Mendidik adalah tugas yang amat luas. Mendidik itu sebagian dilakukan dalam bentuk mengajar, sebagian dalam bentuk memberikan dorongan, memuji, menghukum, memberi contoh, membiasakan, dan lain-lain.
Dalam literatur yang ditulis oleh ahli pendidikan Islam, tugas guru ternyata bercampur dengan syarat dan sifat guru. Ada beberapa pernyataan tentang tugas guru yang dapat disebutkan disini, yang diambil dari uraian penulis muslim tentang syarat dan sifat guru, misalnya sebagai berikut :
- Guru harus mengetahui karakter murid.
- Guru harus selalu berusaha meningkatkan keahliannya.
- Guru harus mengamalkan ilmunya.
- Syarat Guru dalam Pendidikan Islam
Syarat terpenting bagi guru dalam Islam ialah sebagai berikut :
1. Umur, harus sudah dewasa
Tugas mendidik adalah tugas yang amat penting karena menyangkut perkembangan seseorang. Oleh karena itu, tugas itu harus dilakukan secara bertanggung-jawab. Itu hanya dapat dilakukan oleh orang yang telah dewasa.
- Kesehatan, harus sehat jasmani dan rohani
Jasmani yang tidak sehat akan menghambat pelaksanaan pendidikan, bahkan dapat membahayakan anak didik bila mempunyai penyakit menular. Dari segi rohani, orang gila berbahaya dalam mendidik dan tidak bisa bertanggung-jawab.
- Keahlian, harus menguasai bidang yang diajarkannya dan menguasai ilmu mendidik (termasuk ilmu mengajar)
Ini penting sekali bagi pendidik, termasuk guru. Orangtua di rumah sebenarnya perlu sekali mempelajari teori-teori ilmu pendidikan. Dengan pengetahuannya diharapkan ia akan lebih berkemampuan menyelenggarakan pendidikan bagi anak-anaknya di rumah.
- Harus berkepribadian muslim, berkesusilaan dan berdedikasi tinggi
Syarat ini amat penting dimiliki untuk melaksanakan tugas-tugas mendidik selain mengajar. Dedikasi tinggi tidak hanya diperlukan dalam meningkatkan mutu mengajar. Selain itu juga harus berkepribadian muslim.
- Sifat Guru dalam Pendidikan Islam
Agar seorang pendidik dapat menjalankan fungsi, maka dia harus memiliki sifat-sifat berikut ini :
1. Robbany.
Setiap pendidik harus memiliki sifat rabbani sebagaimana dijelaskan Allah. Jika seorang pendidik telah bersifat rabbani, seluruh kegiatan pendidikannya bertujuan menjadikan anak didiknya sebagai generasi rabbani yang memandang jejak keagungan-Nya.
- Ikhlas.
Seorang guru hendaknya menyempurnakan sifat rabbaniyahnya dengan keikhlasan. Artinya, aktifitas sebagai pendidik bukan semata-mata untuk menambah wawasan keilmuannya, lebih jauh dari itu harus ditujukan untuk meraih keridhaan Allah serta mewujudkan kebenaran.
- Sabar.
Seorang pendidik hendaknya mengajarkan ilmunya dengan sabar.
- Jujur.
Ketika menyampaikan ilmunya kepada anak didik, seorang pendidik harus memiliki kejujuran dengan menerapkan apa yang dia ajarkan dalam kehidupan pribadinya.
- Haus Ilmu.
Seorang guru harus senantiasa meningkatkan wawasan, pengetahuan dan kajiannya.
- Cerdas dan Terampil.
Seorang pendidik harus cerdas dan terampil dalam menciptakan metode pengajaran yang variatif serta sesuai dengan situasi dan materi pelajaran.
- Tegas.
Seorang guru harus mampu bersikap tegas dan meletakkan sesuatu sesuai proporsinya sehingga dia akan mampu mengontrol dan menguasai siswa.
- Paham Psikologi Anak.
Seorang guru dituntut untuk memahami psikologi anak, psikologi perkembangan dan psikologi pendidikan sehingga ketika dia mengajar, dia akan memahami dan memperlakukan anak didiknya sesuai kadar intelektual dan kesiapan psikologisnya.
- Peka.
Seorang guru dituntut untuk peka terhadap fenomena kehidupan sehingga dia mampu memahami berbagai kecenderungan dunia beserta dampak dan akibatnya terhadap anak didik, terutama dampak terhadap akidah dan pola pikir mereka.
- Adil.
Seorang guru dituntut memiliki sikap adil terhadap seluruh anak didiknya.
- Kewajiban Guru dalam Pendidikan Islam
Kewajiban yang harus diperhatikan oleh guru menurut pendapat Imam Ghazali yaitu :
1. Harus menaruh rasa kasih sayang terhadap murid dan memperlakukan mereka seperti anak sendiri.
2. Tidak mengharapkan balas jasa ataupun ucapan terima kasih, tetapi bermaksud dengan mengajar mencari keridhaan Allah.
3. Mencegah murid dari sesuatu akhlak yang tidak baik, dengan jalan halus dan tidak mencela.
4. Supaya diperhatikan tingkat akal pikiran anak-anak dan berbicara dengan mereka menurut kadar akalnya dan jangan disampaikan sesuatu yang melebihi tingkat tangkapannya.
5. Jangan timbulkan rasa benci pada diri murid mengenai suatu cabang ilmu yang lain.
6. Guru harus mengamalkan ilmunya dan satu kata dengan perbuatannya.
TEHNIK MENGGUNAKAN MEDIA PEMBELAJARAN
Untuk memenuhi tugas Mandiri Mata Kuliah
MANAJEMEN DELIVERY METHOD
Konsentrasi Pendidikan Agama Islam
Semester III/Tiga
Dosen Pengampu;
DR. WIDYO NUGROHO, MM.
Oleh :
FATCHURODI (NIM: 5051030008)
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PROGRAM PASCA SARJANA IAIN
“SYEKH NURJATI”CIREBON
2011
TEHNIK MENGGUNAKAN MEDIA PEMBELAJARAN
BAB I
PENDAHULUAN
Sebagai sebagai seorang guru, pernahkah anda menghadapi kesulitan dalam menjelaskan suatu materi pelajaran kepad siswa? Misalntya anda ingin menjelaskan tentang seekor binatang yang disebut harimau kepada siswa SD kelas awal. Atau anda ingin menjelaskan tentang pesawat terbnag kepada murid anda yang berada di pedalaman Irian, Sulawesi, Kalimantan atau di tempat-tempat lain yang tidak ada pesawat terbang, atau anda ingin menjelaskan apa itu Supermarket kepad siswa yang berada di kampung, menghadapi masalah tersebut, biasanya ada sesuatu yang anda lakukan, di antaranya munglin anda akan bercerita tentang harimau, pesawat terbang atau supermarket. Anda bisa bercerita mungkin karena anda membaca buku, karena pengalaman, cerita orang lain, atau melihat gambar ketiga objek itu. Apabila murid tersebut sama sekali belum tahu, belum pernah melihat dari televisi atau gambar di buku misalnya, maka betapa sulitnya anda menjelaskan hanya dengan kata-kata ketiga objek tersebut. Kalau anda seorang yang ahli bercerita, tentu cerita anda akan sangat menarik bagi murid-murid. Namun tidak semua orang di berikan karunia kepandaian bercerita. Maka perlu ada media yang di gunakan dalam pembelajaran tersebut, seyogjanya guru harus memahami cara dan tehnik dalam menggunakan media tersebut.
1
BAB II
TEHNIK MENGGUNAKAN MEDIA PEMBELAJARAN
A. Penggunaan Media Berdasarkan Tempat
Pembelajaran adalah suatu kegiatan belajar mengajaryang melibatkan siswa dan guru dengan menggunakan berbagai sumber belajar baik dalam situasi kelas maupun di luar kelas. Dalam arti media yang digunakan untuk pembelajaran tidak selalu identik dengan situasi kelas dalam pola pengajaran konvesional namun proses belajaran tanpa kehadiran gurupun dan lebih mengandalkan media termasuk dalam kegiatan pembelajaran, Misalnya e-learning, Pembelajaran Individual dengan CD intyeraktif, Video Interaktif dan lain-lain. Berdasarkan tempat penggunaannya media pembelajaran, yaitu:
a. Penggunaan Media di kelas (Face to Face)
b. Penggunaan Media di luar Kelas, antara lain :
- Penggunaan Media tidak terprogram seperti penggunaan kaset pelajaran dan radio
- Penggunaan media secara terprogram seperti penggunaan radio SLTP terbuka,
Penggunaan e-learning di beberapa sekolah di Indonesia.
B. Variasi Penggunaan Media
Dilihat dari variasi penggunaannya, Media dapat di gunakan baik secara perorangan, kelompok atau siswa dalam jumlah yang sangat banyak.
a. Media dapat di gunakan secara perorangan (Individual Learning)
maka perlu dilengkapi ape Recorder, Proyektor Film Bingkai, earphone, layar kecil dan
sebagainya.
2
b. Media dapat digunakan secara berkelompok (Big Group)
berupa kelompok kecil dengan jumlah 2 sampai 8 atau kelompok besar berjumlah 9 sampai
40 orang.
c. Media yang digunakan secara Massal
Biasanya melalui Media Pemancar seperti Radio, Televisi atau di gunakan dalam ruang
yang besar seperti film 35 mm.
C. Penggunaan Media Grafis
1. Bagan
Kegunaan Bagan adalah untuk menunjukkan hubungan, keterkaitan, perbandingan, jumlah yang relatif, perkembangan tertentu, mengklasifikasikan.
a. Jenis-jenis Bagan :
- Bagan Pohon
- Bagan Alir
- Bagan Arus
- Bagan Tabel
b. Cara Menggunakan Bagan dalam pembelajaran
- Pemilihan Bagan
- Mempersiapkan Ruang kelas
- Mempersiapkan siswa
- Mempersiapkan pertanyaan dan penugasan yang mengaktifkan siswa
- Penggunaan saat pembelajaran berlangsung
3
2. Grafik
Secara sederhana grafik dapat diartikan sebagai media yang mengvisualisasikan data-data dalam bentuk angka. Grafik menggambarkan hubungan satu dua atau lebih data atau grafik dengan data yang sama menggambarkan hubungan penting dari suatu data atau grafik dengan data yang sama menggambarkan penting dari suatu data.
a. Jenis Grafik
- Grafik Garis
- Grafik Batang
- Grafik lingkaran
b. Penggunaan Grafik dalam Pembelajaran
- Grafik di visualisasikan dengan bantuan objek dalam bentuk garis batabg dan gambar
- Para siswa tidak akan mengalami kesulitan dalam memahami pesan yang disajikan
melalui grafik. Hal tersebut di sebabkan karena grafik sendiri bukan suatu yang asing bagi
siswa.
Memperoleh grafik sekarang ini bukanlah suatu yang sulit.
3. Komik
4. poster
5. Media Foto
D. Penggunaan Media Elektronik
1. OHP (Overhead Projector)
2. media Audio Seperti : Radio Pendidikan, Alat Perekam, Laboratorium Bahasa
3.Multi Media Projector
4
KESIMPULAN
Secara umum media ini sudah layak untuk digunakan sebagai alat peraga dalam pembelajaran, baik untuk menjelaskan konsep maupun aplikasi konsep yang terkait dengan materi perkuliahan refrogerasi. Alat peraga ini juga dapat di gunakan untuk kepentingan pembelajaran klasikal kecil (5-6 perkelompok)
5
DAFTAR PUSTAKA
Drs. Rudi Susilana, M. Si Media Pembelajaran (Bandung 2007)
Cepi Riyana, M. Pd, Hakikat Penembangan Pemanfaatan dan Penilaian,(Bandung 2007)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar